Jumat, 25 Mei 2012

Puri Nirmala Ohhh Puri Nirmala

Ini mungkin jadi cerita paling tidak enak di antara cerita yang lain. Baru seminggu lalu saya mengalami abortus atau bahasa kerennya 'keguguran'. Rasanya campur aduk itu pasti, tapi bukan kesedihan yang akan saya bagi di posting kali ini, tapi peristiwa yang membuat saya jadi lupa akan rasa sakit.

Rabu tanggal 16 Mei kemarin saya sudah kena flek dan itu adalah indikasi adanya keguguran yang mengancam. Perut sudah sakit, perasaan juga ikut gak karuan. Tapi alhamdulillah, saya punya suami yang sabar dan selalu ngasih support, intinya bikin hati tenang. Dokter bilang saya harus bedrest dan saya harus absen kuliah dulu.... Tambah sedih deh gak bisa kuliah.Malamnya, itu sakit perut semakin menjadi-jadi. Suami sudah ribut mau bawa saya ke rumah sakit, tapi saya bilang nanti dulu, coba ditahan mungkin besok jadi agak mendingan. Jam 3 pagi saya terbangun, perut tambah sakit bukan main. Akhirnya, Mas Hafidz, suamiku, menawarkan untuk pergi ke rumah sakit. Karena waktu itu jam 3 pagi, kami tidak yakin kalau ada dokter kandungan yang jaga 24 jam di rumah sakit. Kalaupun ada, kami jugatidak tahu rumah sakit yang mana.

Teringat oleh saya rumah sakit ibu dan anak di daerah Kotagede, tapi apa namanya saya lupa,seingatku huruf awalnya p . Tiba-tiba terlintas di pikiran kalau namanya itu Rumah Sakit Ibu dan Anak Puri Nirmala. langsung saja saya nyuruh Mas Hafidz menelepon rumah sakit itu.
"Halo, rumah sakit Puri Nirmala ya? Itu rumah sakitnya di mana ya, Mas? Oh, di depan pasar Sentul, dekat Pakualaman. Iya, iya saya ingat. Eh, Mas, ini rumah sakit ibu dan anak ya? Ha bukan? Ya sudah, Mas, terima kasih". Begitulah percakapan suamiku yang saya dengar, lalu dia bilang ke saya "Mana...Puri Nirmala bukan rumah sakit ibu-anak gitu kok" kata suamiku sedikit bingung.
"Trus rumah sakit apa?" sahutku.
"Gak tahu, mas-nya tadi gak bilang kalau itu rumah sakit ibu-anak" jawabnya.
Beberapa saat saya terdiam. Mengingat-ingat rumah sakit yang ada di sekitar pasar Sentul atau Pakualaman. Setelah ingat, saya langsung tersenyum dan bilang ke suami saya "Oalah, Yah..Puri Nirmala itu bukan RS ibu-anak. Tapi rumah sakit jiwa...." Langsung saja kami berdua tertawa keras-keras. Saya jadi lupa akan rasa sakit, sungguh, saya jadi tidak merasakan sakit. Mungkin kalau ada yang bilang hati yang gembira adalah obat itu mungkin ada benarnya.



Lemari



Tulisan ini sangat terinspirasi dari temanku, si Heather Curnow. Dia seorang kurator museum yang sedang mengadakan penelitian tentang Museum Kartini di Jepara dan lewat acara pameran fotografi yang diselenggarakan Rumah Kartini dan Widya Mitra Semarang tahun lalu, kami secara tidak sengaja dipertemukan. Hanya beberapa kali bertemu, kami sudah cukup akrab dan nyaman satu sama lain.

Selama di Indonesia, si bule itu tinggal di Jogja, tidak jauh dari kosku di Timoho. Kami buat janji, setelah acara itu kami akan bertemu lagi di Jogja dan makan siang bareng. Namun, janji itu baru terwujud 7 bulan kemudian. (maaf ya Heather…)
Akhirnya, 11 Maret lalu kami berhasil bertemu dan makan bareng di kafé vegetarian yang namanya mencerminkan kisah bertemunya kembali aku dan Heather. Kafé itu namanya Milas, hal pertama yang melintas di pikiranku Milas akan tertulis seperti Mila’s atau Mila’s Café yang berarti kafé Mila atau kafé milik Mila. Tetapi aku salah besar, Milas adalah akronim dari Mimpi Lama Sekali. Ada-ada saja yang bikin itu kafé.

Kata Heather, menu yang harus dicoba di Milas adalah pai apel. Dan benar saja, pai apelnya enaknya mangap eh mantap! Apalagi pakai eskrim vanila di atasnya, maknyoss kotos kotos wis… Pai apelnya fresh from the oven, bukan pai beku yang lantas dipanaskan di oven seperti di beberapa restoran yang pernah Heather kunjungi.
Lama sekali kami ngobrol di Milas dan sudah menghabiskan sepiring salad, jus dan strawberry lassy, perkedel jagung, pai apel dan satu setengah liter air mineral. Kenyaaaaaaaaaaaaaaaaang…..

Di Milas kami ngobrol banyak tapi yang paling menarik ketika Heather cerita tentang lemari bajunya yang super besar dan bagus. Dia bilang, menjadi single itu cukup menyenangkan buatnya, paling tidak dia tidak harus berbagi lemari dengan seseorang. Mungkin untuk beberapa orang itu terdengar sinis atau bahkan biasa saja. Tapi bagiku itu berarti sekali, jika dilihat dari statusku yang sudah menikah.

Lemari, biasanya berbentuk kubus yang panjang dan lebarnya bervariasi dan mempunyai sekat-sekat vertikal untuk meletakkan pakaian. Bukan hanya tempat menyimpan pakaian, lemari bisa jadi tempat menyimpan barang-barang berharga kita, perhiasan, uang, atau apapun yang menurut kita harus dijaga kerahasiannya. Lemari sudah seperti dunia kecil kita yang jauh dari pengetahuan orang-orang, bahkan keluarga kita sendiri.

Di kos, aku dan suamiku menyimpan baju di lemari sepanjang 1,5m dan lebarnya hanya 0,5m saja. Tentu saja lemariku terhitung lemari berukuran kecil, tapi paling tidak bisa muat baju-baju kami berdua. Dulu, sebelum menikah, lemariku terkesan biasa saja, karena semua yang di dalamnya adalah milikku. Baju, celana dalam, BH, dan lainnya. Tapi setelah menikah, ada sesuatu yang membuatku tersenyum ketika membuka lemariku, celana dalam pria. Aku tidak kaget melihat baju-baju pria di lemariku, karena pakaianku sendiri tak jauh beda seperti mereka. Tapi ketika melihat benda berbentuk segitiga itu aku langsung mengalihkan pandangan ke suami yang masih asik ngorok di kasur. Inilah hidupku sekarang, inilah duniaku sekarang. Tak ada lagi lemariku atau lemarimu, karena duniamu dan duniaku sudah jadi satu di lemari kita. 
Yang kutahu sekarang adalah bagaimana aku harus belajar menyukai warna-warna yang ada di duniamu dan bagaimana kau menerima duniaku agar dapat hidup berdampingan dengan milikmu. Biarkan saja baju-baju kita membaur dalam tumpukan yang sama, tanpa peduli ‘bajumu ada di tumpukan sebelah sana’ dan ‘ bajuku ada di sebelah sini’. Akupun tak akan membedakan warna-warnanya, semisal merah dengan merah, biru dengan biru, tapi aku akan mebiarkannya berpadu seperti pelangi.

Senin, 14 Mei 2012

Ini Maut...


Menunggu selalu menjadi hal yang dibenci banyak orang, membosankan itulah rasanya. Begitu pula aku, menunggu suami yang sedang ngobrol dengan temannya adalah sesuatu yang ‘HHHrrrrrrrrgggghhhhh!!!!!’. Mending kalo kita juga punya teman untuk bicara. Tapi ketika mereka asyik bicara tentang pekerjaan yang tidak banyak kita tahu dan kita hanya menjadi pendengar dua penyiar radio tanpa lagu itu adalah hal membuat saya ingin segera pulang.


Hari sudah menunjukkan jam 10 malam, saat aku dan suamiku selesai makan di warung kremesan langganan kami. Sebenarnya masih pengen jalan-jalan dengan suami, karena seharian dia bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam, yang berarti waktu ketemunya hanya mau tidur dan bangun pagi :`( 

Kebetulan waktu itu aku sedang kehabisan pulsa, dan berencana beli pulsa dekat kos. Dan bertemulah aku dengan sebuah konter pulsa yang kebetulan lagi bersebelahan dengan warung mie bakso milik teman suamiku. Aku turun dari motor dan beli pulsa, kalau tidak salah lihat tadi suamiku masih menunggu di atas motor  lha kok sekarang hilang ? pikirku. Eh ternyata, dia masuk ke warung mie bakso yang sudah ‘kukut’ tapi pintu belum ditutup, karena beberapa karyawan masih ngobrol di luar.

Aku menyusul saja ke dalam, menyapa temannya lalu nyemil sisa bakso yang belum habis terjual. Semula kupikir obrolan itu tak akan berlangsung lama, karena sudah malam dan aku yakin suamiku pasti capek…Lhadalah kingkong! kok malah jadi lama itu diskusi mereka.  “Ayo, pulang…” bujukku, tapi suamiku cuma pringas-pringis dan sialnya lagi malah minta dibikinin es jeruk…Dasar suami tidak berguna…hahahahaha… Lama-lama aku jadi pasrah, nunggu mereka ngobrol sambil makan bakso dan nonton TV. Tetapi hatiku yang paling dalam akhirnya berontak, jika tak segera pulang keadaan akan jadi gawat. Berat badanku akan nambah beberapa kilo gara-gara bulatan bakso yang aku punguti dari plastik hitam besar (Maafkan aku, Cak! Aku khilaf…)

Kubujuk lagi itu dia pria kurus berkulit kuning berhidung besar yang sangat amat kucintai, “Ayo pulang…” kataku sambil membelai telinganya. Dia hanya tersenyum, rayuanku tak berhasil. Kuulangi lagi “Ayo pulang” dengan nada setengah merengek. Lagi-lagi dia cuma senyum… Akhirnya kudekatkan hidungku ke telinganya dan berbisik “ Ayo pulang…bikin anak!!!” sontak dia tertawa dan dengan sopan menyudahi obrolan dengan temannya yang juga kukenal baik.