Jumat, 25 Mei 2012

Lemari



Tulisan ini sangat terinspirasi dari temanku, si Heather Curnow. Dia seorang kurator museum yang sedang mengadakan penelitian tentang Museum Kartini di Jepara dan lewat acara pameran fotografi yang diselenggarakan Rumah Kartini dan Widya Mitra Semarang tahun lalu, kami secara tidak sengaja dipertemukan. Hanya beberapa kali bertemu, kami sudah cukup akrab dan nyaman satu sama lain.

Selama di Indonesia, si bule itu tinggal di Jogja, tidak jauh dari kosku di Timoho. Kami buat janji, setelah acara itu kami akan bertemu lagi di Jogja dan makan siang bareng. Namun, janji itu baru terwujud 7 bulan kemudian. (maaf ya Heather…)
Akhirnya, 11 Maret lalu kami berhasil bertemu dan makan bareng di kafé vegetarian yang namanya mencerminkan kisah bertemunya kembali aku dan Heather. Kafé itu namanya Milas, hal pertama yang melintas di pikiranku Milas akan tertulis seperti Mila’s atau Mila’s Café yang berarti kafé Mila atau kafé milik Mila. Tetapi aku salah besar, Milas adalah akronim dari Mimpi Lama Sekali. Ada-ada saja yang bikin itu kafé.

Kata Heather, menu yang harus dicoba di Milas adalah pai apel. Dan benar saja, pai apelnya enaknya mangap eh mantap! Apalagi pakai eskrim vanila di atasnya, maknyoss kotos kotos wis… Pai apelnya fresh from the oven, bukan pai beku yang lantas dipanaskan di oven seperti di beberapa restoran yang pernah Heather kunjungi.
Lama sekali kami ngobrol di Milas dan sudah menghabiskan sepiring salad, jus dan strawberry lassy, perkedel jagung, pai apel dan satu setengah liter air mineral. Kenyaaaaaaaaaaaaaaaaang…..

Di Milas kami ngobrol banyak tapi yang paling menarik ketika Heather cerita tentang lemari bajunya yang super besar dan bagus. Dia bilang, menjadi single itu cukup menyenangkan buatnya, paling tidak dia tidak harus berbagi lemari dengan seseorang. Mungkin untuk beberapa orang itu terdengar sinis atau bahkan biasa saja. Tapi bagiku itu berarti sekali, jika dilihat dari statusku yang sudah menikah.

Lemari, biasanya berbentuk kubus yang panjang dan lebarnya bervariasi dan mempunyai sekat-sekat vertikal untuk meletakkan pakaian. Bukan hanya tempat menyimpan pakaian, lemari bisa jadi tempat menyimpan barang-barang berharga kita, perhiasan, uang, atau apapun yang menurut kita harus dijaga kerahasiannya. Lemari sudah seperti dunia kecil kita yang jauh dari pengetahuan orang-orang, bahkan keluarga kita sendiri.

Di kos, aku dan suamiku menyimpan baju di lemari sepanjang 1,5m dan lebarnya hanya 0,5m saja. Tentu saja lemariku terhitung lemari berukuran kecil, tapi paling tidak bisa muat baju-baju kami berdua. Dulu, sebelum menikah, lemariku terkesan biasa saja, karena semua yang di dalamnya adalah milikku. Baju, celana dalam, BH, dan lainnya. Tapi setelah menikah, ada sesuatu yang membuatku tersenyum ketika membuka lemariku, celana dalam pria. Aku tidak kaget melihat baju-baju pria di lemariku, karena pakaianku sendiri tak jauh beda seperti mereka. Tapi ketika melihat benda berbentuk segitiga itu aku langsung mengalihkan pandangan ke suami yang masih asik ngorok di kasur. Inilah hidupku sekarang, inilah duniaku sekarang. Tak ada lagi lemariku atau lemarimu, karena duniamu dan duniaku sudah jadi satu di lemari kita. 
Yang kutahu sekarang adalah bagaimana aku harus belajar menyukai warna-warna yang ada di duniamu dan bagaimana kau menerima duniaku agar dapat hidup berdampingan dengan milikmu. Biarkan saja baju-baju kita membaur dalam tumpukan yang sama, tanpa peduli ‘bajumu ada di tumpukan sebelah sana’ dan ‘ bajuku ada di sebelah sini’. Akupun tak akan membedakan warna-warnanya, semisal merah dengan merah, biru dengan biru, tapi aku akan mebiarkannya berpadu seperti pelangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar